Update:Selasa, 21 Januari 2014
Oleh Unknown
Mahasiswa dan Politik
Semua mahasiswa dalam satu sisi mempunyai hak untuk berserikat dan
berkumpul, dalam hal ini tentunya untuk ber-organisasi. Salah satu
organisasi yang paling umum dan paling masiv tentunya adalah Partai
Politik, dan tentu, setiap mahasiswa punya hak dalam berpolitik. Secara
umum, ada 2 hak dalam berpolitik, yaitu Hak Aktif dan Hak Pasif. Hak
Aktif, dalam masalah ini adalah ketika terjadi suatu pemilihan umum,
seorang mahasiswa berhak untuk dicalonkan dalam pemilu tersebut,
sedangkan Hak Pasif, adalah hak dimana semua mahasiswa berhak untuk
memilih calon-calon yang tersedia dalam pemilu tersebut.
Dewasa ini, kita tentu sering melihat berita baik di media elektronik
maupun membaca di media cetak tentang pergerakan rakyat ketika menentang
suatu kebijakan dari Pemerintah, suatu kebijakan yang seringkali
dipandang mencederai perasaan rakyat, karena seolah ditindas dan
dirugikan oleh kebijakan yang kurang bijak tersebut. Dalam berbagai
demonstrasi tersebut, tentunya kita tidak bisa mengesampingkan sebuah
unsur kuat yang selalu menjadi motor penggerak pada
demonstasi-demonstrasi tersebut. Ya, Mahasiswa. Hampir dalam setiap aksi
demonstrasi, baik yang secara damai maupun yang menimbulkan aksi
vandalisme, mayoritas pelakunya adalah mahasiswa.
Mengapa selalu mahasiswa? bisa jadi karena mahasiswa adalah cerminan
dari kaum muda terpelajar, calon-calon pemimpin bangsa, sekaligus bisa
jadi calon perusak bangsa. Mahasiswa bagaikan dua sisi mata pedang di
masa depan nanti. Jika seorang mahasiswa ataupun lebih tepat disebut
dengan aktivis atau organisatoris mempunyai jiwa yang baik dan tulus,
kelak dia akan menjadi pemimpin bangsa yang baik. Dan sebaliknya,
apabila seorang mahasiswa telah terkontaminasi pikirannya sejak ketika
ia menjadi seorang aktivis, kemungkinan besar dialah yang akan merusak
negara ini ketika menjadi pemimpin suatu saat nanti.
Kemudian setelah itu, untuk menjadi seorang pemimpin bangsa, dala hal
ini saya misalkan sebagai presiden, menteri, legislator, dan lainnya,
tentunya tidak bisa hanya dengan modal kepintaran, sesuatu yang saya
yakin dimiliki oleh semua mahasiswa, terlepas dalam bidang apa yang dia
bisa. Dalam hal ini, dibutuhkan suatu kendaraan yang bisa mengantar kita
untuk dapat mencapai tingkatan itu, dan tanpa kendaraan ini sulit
rasanya untuk menjadi seorang pemimpin bangsa yang punya otoritas untuk
mengatur bangsa ini. Kendaraan ini tak lain adalah partai politik, atau
jamak disebut dengan ParPol. Partai politik mempunyai peran yang sangat
penting, bahkan sering menjadi elemen terpenting apabila kita ingin
mendapat tempat yang strategis di pemerintahan, atau setidaknya membuat
suara kita didengar tanpa harus berteriak.
Apa syarat jika ingin menjadi seorang anggota partai politik? Pada Bab V
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999 , yang mengatur keanggotaan
dan kepengurusan sebuah partai politik, dijelaskan ada beberapa
persyaratan jika ingin menjadi anggota partai politik. Syarat pertama,
seseorang harus sudah atau telah berusia 17 tahun, atau sudah pernah
menikah. Syarat kedua, adalah dapat membaca dan menulis, dan syarat
ketiga adalah memenuhi ketentuan yang ditetapkan suatu partai politik
yang dilamarnya.
Melihat dari 3 syarat utama tersebut, sudah pasti seorang mahasiswa yang
memang mempunyai keinginan untuk menjadi anggota partai politik sudah
sangat memenuhi persyaratan, dan sangat mungkin akan banyak mahasiswa
yang mengikuti atau masuk dalam keanggotaan partai politik. Sosok
semacam Anas Urbaningrum ataupun aktor-aktor politik lain yang sedang
menjadi trending topic akhir-akhir ini, sudah barang pasti adalah mantan
mahasiswa yang menggeluti politik kampus, bahkan Anas merupakan seorang
aktivis tulen ketika masih kuliah dahulu.
Pada akhirnya, bagaimana jika seorang mahasiswa menjadi anggota partai
politik? Menurut saya, hal tersebut sah-sah saja. Saya sendiri adalah
seorang anggota dari Partai Golkar. Politik, atau lebih tepatnya
berpolitik, merupakan hak asasi seseorang manusia merdeka yang sudah
diatur dalam Undang-Undang Dasar. Terlebih lagi, dalam suatu kampus,
terdapat banyak himpunan, kesatuan, persatuan, dan bahkan juga terdapat
partai-partai mahasiswa.
Saya tidak tahu, apakah gerakan-gerakan semacam itu berbasis politik
atau tidak. Yang jelas, pergerakan-pergerakan semacam itu adalah sebuah
miniatur dari partai politik walaupun tentu berbeda baik sistem maupun
bentuknya. Selain itu, Eksekutif Mahasiswa maupun DSM dan DPM juga
merupakan miniatur dari sistem pemerintahan di negara ini, berkaca dari
sudah diterapkannya prinsip Trias Politika gubahan Montesquieu.
Jadi, jika mahasiswa aktif dalam partai politik ataupun mungkin
membentuk sebuah partai mahasiswa yang bersifat nasional, mungkin adalah
sebuah ide yang sangat bagus. Mahasiswa yang berjumlah sangat besar
bisa mempunyai massa dan simpatisan jika dikelola dan dicitrakan dengan
baik. Namun tentunya, hal semacam ini akan berdampak sangat besar bagi
mahasiswa secara luas.
Dampak positif bagi kalangan mahasiswa yang mengaku peduli tentu sangat
banyak, misalnya mahasiswa tidak harus turun ke jalan untuk menyampaika
aspirasinya. Dan apabila mempunyai seorang ataupun banyak wakil yang
punya otoritas di pemerintahan, suara mahasiswa akan lebih di dengar,
namun tentunya terlebih dulu harus mendengarkan suara rakyat, karena
suara rakyat adalah suara Tuhan, Vox Populi Vox Dei.
Sebaliknya, dampak negatifnya juga banyak. Jika banyak mahasiswa yang
aktif berpolitik dan bahkan mendirikan kantor di sebuah unversitas,
bukan tidak mungkin massa mahasiswa yang banyak itu rentan ditunggangi
oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dan efek yang paling
buruk adalah, mahasiswa yang dulunya menjadi tukang demo atas nama
menyampaikan aspirasi rakyat, bisa jadi malah akan di demo rakyat.
Kesimpulannya, aktif di politik, dalam hal ini aktif dalam partai
politik adalah hak setiap manusia yang sudah cakap hukum dan dewasa,
termasuk kalangan mahasiswa, dan tentu sudah dijamin oleh undang-undang
di negara ini. Hal-hal tersebut sangat layak dimanfaatkan asalkan
bertujuan memperjuangkan rakyat indonesia dan semua aspirasi mereka.
**artikel normatif diatas saya tulis sekitar 1,5 tahun yang lalu, untuk
memenuhi sebuah tugas ketika saya menjalani OSPEK. Belakangan saya baru
mengerti, bahwa selama ini partai politik tidak boleh masuk kampus,
sehingga mereka mengirimkan dan mengkaderisasi mahasiswa melalui
organisasi sayap mereka. Saya memang bukan seorang pelaku politik
kampus, namun dalam pandangan saya, jika mereka mengaku sedang menjalani
sebuah proses berpolitik, maka saya pikir itu adalah proses yang kurang
tepat. Dalam kepala saya, politik itu cerdik, kotor namun bersih, bukan
seperti yang selama ini saya lihat di kampus, semacam baku hantam dan
sejenisnya. Point berikutnya, mengenai demo sebagai cerminan mahasiswa,
menurut saya sah-sah saja, asal tidak hanya menjadi sebuah aksi “putch” ,
apalagi sudah ditunggangi, dan mencerminkan seorang pembangkan, bukan
seorang revolusioner yang humanis. Saya memang tak lebih baik dari
mereka, apalagi saya juga tak turut campur tangan secara langsung dalam
hal-hal tersebut. Namun, memberikan opini menurut saya sah-sah saja
tanpa harus ikut campur dengan yang di-opini-kan. Ya, setiap orang
mempunyai perannya masing-masing**