H.A.ASRIADI MAYANG,S.H.,M.H. / CALON ANGGOTA DPRD NOMOR URUT 4 / DAPIL SULSEL 8 MELIPUTI KABUPATEN WAJO DAN SOPPENG

Update:Rabu, 22 Januari 2014
Oleh Unknown

Melirik Sejarah dan Budaya Wajo

Hampir tak ada negeri yang tidak didatangi orang Wajo. Sampai ke ujung dunia pun asalkan ada peluang bisnis dan iklim yang menjamin kebebasan berusaha maka orang Wajo akan datang. Perumpamaan itu tak lain untuk menunjukkan betapa sifat kewiraswastaan atau interpreneurship telah mendarah daging pada setiap pribadi orang Wajo. Sifat ini dituntun pesan leluhur: aja mumaelo natunai sekke, naburuki labo (jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros).

Berpegang pada Tellu Ampikalena To WajoE (tiga prinsip hidup), tau'E ri DewataE, siri'E ri padatta rupatau, siri'E ri watakkale (ketaqwaan kepada Allah SWT, rasa malu pad orang lain dan pada diri sendiri), orang Wajo memiliki etos kerja, resopa natinulu natemmangingngi, namalomo naletei pammase Dewata Seuwae (hanya dengan kerja keras, rajin, dan ulet, mendapat keridhaan Allah SWT)

Orang Wajo senantiasa mendambakan terciptanya iklim kebebasan berdasarkan prinsip, Maradeka To WajoE, najajiang alaena maradeka, napoada adanna, napobbicara bicaranna, napogau gaunna, ade assemmaturesennami napopuang (Orang Wajo dilahirkan merdeka, bebas berekspresi, bebas bicara, dan menyatakan pendapat, bebas berbuat, hanya hukum berlandaskan permusyawaratan yang dipertuan).

Berpenduduk 400.000 jiwa, Wajo memiliki potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Apabila potensi ini berhasil dipadukan dan diberdayakan, bisa dipastikan, masyarakat Wajo meraih kehidupan lebih baik di hari esok. Penggalangan potensi akbar ini (termasuk orang Wajo yang berdiam di luar daerah) bukan mustahil diwujudkan mengingat orang Wajo memiliki semangat riassiwajori yang terkandung dalam prinsip kebersamaan, mali siparappe, rebba sipatokkong, malilu sipakainge (hanyut saling menolong, jatuh saling membantu untuk tegak kembali, khilaf saling mengingatkan).

Nilai-nilai yang tak ternilai harganya itu patut dilestarikan dan dikembangkan. Pelestarian dan nilai-nilai positif itu membutuhkan wahana yang menjadi sumber motivasi. Momentumnya dipilih bertepatan peringatan Hari Jadi Wajo. Waktu yang tepat tersebut dikaitkan dengan Hari Jadi Wajo, yang hari 'H'-nya belum pernah disepakati. Di sinilah letak pentingnya upaya penelusuran sejarah keberadaan Wajo yang digagaskan oleh Dachlan Maulana. Penelusuran sejarah Wajo didukung tokoh masyarakat dan budayawan.

Pemerintah Kabupaten Wajo membentuk Panitia Seminar Penelurusan Hari Jadi Wajo per SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Wajo No. Sos/562/XII/W/1994 tanggal 22 Desember 1994. Panitia kemudian menyelenggarakan Seminar Penelusuran Hari Jadi Wajo, 23 Januari 1995 di Ruang Kantor BKDH Tingkat II Wajo.

Dalam seminar terungkap kemajuan Wajo, terutama di bawah kepemimpinan Arung Matoa (Presiden), yaitu La Tadampare Puangrimaggalatung, Petta Latiringeng To Taba Arung Simettengpola, La Mungkace Toaddamang, La Sangkuru Patau, La Salewangeng To Tenriruwa
La Maddukelleng, dan La Pariusi To Maddualeng.

Seminar menyimpulkan sejarah kelahiran Wajo dalam 6 (enam) versi, yaitu Puang Rilampulungeng, Puang Ritimpengeng, Cinnongtabi, Boli versi Kerajaan Cina, Masa ke-Batara-an, dan Masa ke-Arung Matoa-an

Peserta seminar sepakat untuk menetapkan momentum Hari Jadi Wajo pada masa pelantikan Batara Wajo I La Tenri Bali, tahun 1399, dibawah sebuah pohon besar (Bajo). Tempat pelantikan Batara Wajo I ini sampai sekarang masih ada, bernama Wajo – Wajo di daerah Tosora Kecamatan Majauleng. Tanggal 29 Maret dipilih sebagai hari 'H' yakni peristiwa kemenangan pasukan Wajo dibawah kepemimpinan La Maddukelleng di Lagosi terhadap pasukan Kompeni yang membantu Bone. Perang tersebut merupakan simbol anti penjajahan. Keputusan seminar dikukuhkan melalui Surat Keputusan DPRD Wajo No. 12/1995 tangal 7 Juli 1995.

Seminar hanyalah sebuah kegiatan awal dari sebuah usaha besar Orang Wajo menemukan jati dirinya. Pengembangan nilai-nilai itu diharapkan kelak bisa berhasil menjadi sumber motivasi bagi orang Wajo untuk menemukan jati dirinya.


DANAU TEMPE -------- Dana
u Tempe terletak di bagian Barat Kabupaten Wajo. Tepatnya di Kecamatan Tempe, sekitar 7 km dari Kota Sengkang menuju tepi Sungai Walanae. Dari sungai ini, perjalanan ke Dananu Tempe dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor (katinting). Perkampungan nelayan bernuansa Bugis berjejer di sepanjang tepi danau.

Nelayan yang menangkap ikan di tengah danau seluas 13.000 hektare itu dengan latar belakang rumah terapung, merupakan pemandangan yang sangat menarik. Dari ketinggian, Danau Tempe tampak bagaikan sebuah baskom raksasa yang diapit oleh tiga kabupaten yaitu Wajo, Soppeng, dan Sidrap.

Sambil bersantai di atas perahu, wisatawan dapat menyaksikan terbitnya matahari di ufuk Timur pada pagi hari dan terbenam di ufuk Barat pad sore hari. Di tengah danau, kita dapat menyaksikan beragam satwa burung, bungan dan rumput air, serta burung Belibis (Lawase, bahasa Bugis) menyambar ikan-ikan yang muncul di atas permukaan air. Danau Tempe memiliki species ikan air tawar yang jarang ditemui ditempat lain.

Konon, dasar danau ini menyimpan sumber makanan ikan, yang diperkirakan ada kaitannya letak danau yang berada di atas lempengan dua benua, yaitu Australia dan Asia. Di waktu malam, wisatawan dapat menginap di rumah terapung. Bersama nelayan, kita dapat menyaksikan rembulan di malam hari yang menerangi Danau Tempe sambil memancing ikan. Sementara itu, para nelayan menangkap ikan diiringi dengan musik tradisional yang dimainkan penduduk. Tanggal 23 Agustus setiap tahunnya, merupakan kalender kegiatan pelaksanaan festival laut di Danau Tempe.

Acara pesta ritual nelayan ini disebut Maccera Tappareng atau upacara mensucikan danau dengan menggelar berbagai atraksi wisata yang sangat menarik. Pada hari perayaan Festival Danau Tempe ini, semua peserta upacara Maccera Tappareng Berpakai  Baju Bodo (pakaian adat Orang Bugis).

Acara ini juga dimeriahkan dengan berbagai atraksi seperti lomba perahu tradisional, lomba perahu hias, lomba permainan rakyat (lomba layangan tradisional, pemilihan anak dara dan kallolona Tanah Wajo), lomba menabuh lesung (padendang), pagelaran musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan oleh waria, dan berbagai pagelaran tradisional lainnya. Lomba perahu dayung merupakan tradisi yang turun temurun dan terpelihara di kalangan para nelayan. Sedangkan Maccera Tappareng merupakan bentuk kegiatan ritual yang dilaksanakan di atas Danau Tempe oleh masyarakat yang berdomisili di pinggir Danau Tempe, biasanya ditandai dengan pemotongan kurban/sapi yang dipimpin oleh seorang ketua nelayan, dan serentetan acara lainnya.


AGRO WISATA SUTERA ------- Daun dari tanaman murbei (Morus sp.) merupakan satu-satunya pakan ulat sutera (Bombyx mori L.), media yang menghasilkan kokon untuk diolah menjadi benang sutera selanjutnya diproses atau ditenun menjadi kain sutera.

Kokon merupakan hasil pemeliharaan ulat sutera, dibentuk dari serat sutera yang dikeluarkan oleh larva matang, selanjutnya melalui proses pemintalan, kokon diolah menjadi benang sutera. Tahap penanaman murbei hingga proses pembuatan kain sutera sudah lama menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Wajo.

Lokasi pembibitan dan penanaman murbei terletak pada beberapa desa di Kecamatan Sabbangparu, sekitar 10 km sebelah Selatan Kota Sengkang, jalan poros menuju Kabupaten Soppeng. Di sini, pengunjung dapat menyaksikan proses penanaman murbei, cara memelihara ulat sutera, proses pemintalan benang sutera, hingga cara menenun kain sutera.

Khusus produk sutera yang berupa kain, sarung, kemeja, dasi, dan berbagai bentuk cinderamata dari kain sutera misalnya : kipas dan tas, dapat kita saksikan di beberapa showroom sutera yang ada di Kota Sengkang. Di toko souvenir itu tersedia berbagai macam warna maupun motif yang indah. Motif yang banyak diminati masyarakat umumnya motif Bugis dan motif yang menyerupai ukiran-ukiran Toraja.


RUMAH ADAT ATAKKAE ------- Kawasan budaya Rumah Adat Atakkae terletak di Kelurahan Atakkae, Kecamatan Tempe, di bangun tahun 1995 di pinggir Danau Lampulung, sekitar 3 km sebelah Timur Kota Sengkang. Di dalam kawasan ini telah dibangun puluhan duplikat rumah adat tradisional yangdihimpun dari berbagai kecamatan, sehingga kawasan ini representatif sebagai tempat pelaksanaan pameran.

Di sekitarnya terdapat bangunan sebagai tempat menginap wisatawan, dekat dari danau. Hampir setiap tahunnya, kawasan budaya ini ramai dikunjungi wisatawan, terutama saat digelar berbagai atraksi budaya dan permainan rakyat.

Di dalam kawasan tersebut dibangun sebuah rumah adat yang lebih besar yang dijuluki Saoraja – istana Tenribali, salah seorang matoa Wajo. Rumah tersebut mempunyai tiang sebanyak 101 buah. Setiap tiang beratnya 2 ton, kayu ulin dari Kalimantan. Tiang itu didirikan dengan menggunakan alat berat (eskavator). Lingkaran tiang rumah 1,45 m dengan garis tengah 0,45 m, dan tinggi tiang dari tanah ke loteng 8,10 m. Bangunan rumah adat ini mempunyai ukuran panjang 42,20 m, lebar 21 m, dan tinggi bubungan 15 m.


ATRAKSI PERNIKAHAN ------- Atraksi pernikahan dan ritual lainnya dapat disaksikan, yaitu Mappacci, Mappanre Lebbe, dan Mappasilellung Botting. Mappacci merupakan sejenis rangkaian proses dalam pesta perkawinan yang dilaksanakan dengan meletakkan daun pacar (pacci) dari sanak keluarga kepada tangan pengantin sebagai bentuk persucian diri. Mappasilellung Botting dilaksanakan setelah malam usai pesta perkawinan, di mana pengantin pria selalu mengejar pengantin wanitanya, sebagai upaya untuk saling mengakrapkan pengantin.


SITUS TORASA ------- Obyek wisata ini terletak sekitar 16 km di sebelah Timur Kota Sengkang. Tepatnya di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng. Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Tosora adalah daerah bekas ibukota Kabupaten Wajo sekitar abad ke-17. Wilayah ini dikelilingi 8 buah danau kecil. Banyak peninggalan sejarah dan kepurbakalaan yang terdapat di sini, misalnya : makam raja-raja Wajo, bekas gudang amunisi kerajaan (geddong), masjid kuno yang dibangun tahun 1621, dan makam yang bernisan meriam. Disini juga terdapat sumur bung parani, tempat prajurit-prajurit tempo dulu dimandikan sebelum terjun ke medan perang.

Banyak wisatawan yang sudah berkunjung ke sini. Motivasi mereka braneka ragam. Di antara mereka, ada yang datang hanya untuk melakukan ziarah. Sebagain yang lain datang untuk melepas hajat atau nazar, dan ada juga yang mengadakan pengkajian sejarah.


GUA NIPPON ------- Gua Nippon terdapat di pegunungan sebelah Timur Kota Sengkang. Lokasinya tak jauh dari Masjid Raya Sengkang. Pengunjung dapat berjalan kaki menuju lokasi ini, terutama mereka yang senang dengan petualangan.

Gua Nippon berupa terowongan yang dibuat oleh tentara Jepang sebagai tempat persembunyian dan pertahanan pada Perang Dunia ke-2. Jumlahnya tak kurang dari 10 buah, namun saat ini sebagian di antaranya sudah tertutup tanah secara alami.

Di dalam gua itu terdapat ruangan yang sangat luas. Masyarakat setempat meyakini bahwa gua itu sebagai tempat penyimpanan harta karun yang ditinggalkan serdadu Jepang, dan pada masa perang dijadikan sebagai basis pertahanan Asia Selatan.

Mulut gua rata-rata mempunyai garis tengah sekitar 1 meter. Bila pengunjung mau masuk ke dalam gua, mereka harus membungkuk atau merangkak. Ada gua yang jalan masuknya berbeda dengan jalan untuk menuju ke luar. Sebagian diantaranya, jalan masuk dan keluar ke gua tersebut hanya merupakan satu jalur. 

H.A.ASRIADI MAYANG,SH.,M.H.

CALEG DPRD SULSEL DARI PARTAI DEMOKRAT NO. URUT 4 DAPIL SULSEL-8 PERIODE 2014-2019 MELIPUTI KABUPATEN WAJO DAN KABUPATEN SOPPENG

Kategori

0 komentar for "Melirik Sejarah dan Budaya Wajo"

Komentar Anda

    Top News